Bukan Pasar Malam (Novel), Pramoedya Ananta Toer
Judul: Bukan Pasar Malam
Pengarang: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tebal: 104 hlm
Harga: Rp30.000,-
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang…seperti dunia dalam pasar malam. Seorang-seorang mereka datang…dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.”
Roman ini terjadi dalam satu putaran perjalanan seorang anak revolusi yang pulang kampung karena ayahnya jatuh sakit. Di perjalanan itu, terungkap beberapa puing gejolak hati yang tersisih di dalam gebyar-gebyar revolusi.
Dikisahkan bagaimana keperwiraan seorang dalam revolusi pada akhirnya melunak ketika harus menghadapi kenyataan sehari-hari: ia mendapati ayahnya yang seorang guru yang penuh bakti terbaring sakit karena TBC, anggota keluarganya yang miskin, rumah tuanya yang makin reot terkikis waktu dan menghadapi isterinya yang cerewet.
Berpotong-potong kisah itu dilontarkan dengan sisa-sisa kekuataan jiwa yang di dalam jiwa seorang mantan tentara muda revolusi yang idealis. Lewat tuturan yang sederhana dan fokus, tokoh “aku” dalam roman ini tidak hanya mengritik kekerdilan diri sendiri, tapi juga menunjuk muka para jenderal atau pembesar-pembesar negeri pasca kemerdekaan yang hanya asyik mengurus dan memperkaya diri sendiri.
Pengarang: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tebal: 104 hlm
Harga: Rp30.000,-
Kontak: 08179408659/Pin BB: 25A7BCBD (untuk detail dan edisi terbaru)
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang…seperti dunia dalam pasar malam. Seorang-seorang mereka datang…dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.”
Roman ini terjadi dalam satu putaran perjalanan seorang anak revolusi yang pulang kampung karena ayahnya jatuh sakit. Di perjalanan itu, terungkap beberapa puing gejolak hati yang tersisih di dalam gebyar-gebyar revolusi.
Dikisahkan bagaimana keperwiraan seorang dalam revolusi pada akhirnya melunak ketika harus menghadapi kenyataan sehari-hari: ia mendapati ayahnya yang seorang guru yang penuh bakti terbaring sakit karena TBC, anggota keluarganya yang miskin, rumah tuanya yang makin reot terkikis waktu dan menghadapi isterinya yang cerewet.
Berpotong-potong kisah itu dilontarkan dengan sisa-sisa kekuataan jiwa yang di dalam jiwa seorang mantan tentara muda revolusi yang idealis. Lewat tuturan yang sederhana dan fokus, tokoh “aku” dalam roman ini tidak hanya mengritik kekerdilan diri sendiri, tapi juga menunjuk muka para jenderal atau pembesar-pembesar negeri pasca kemerdekaan yang hanya asyik mengurus dan memperkaya diri sendiri.
Komentar
Posting Komentar